Tak Perlu Berlebihan Menghujat “Nussa”
Nussa kembali menjadi perbincangan heboh di jagat maya. Kali ini, Nussa menjadi bahan pembicaraan karena trailer filmnya yang ramai beredar di media sosial.
Hujatan diawali dari cuitan Denny Siregar di Twitter yang menuding sinis proyek film animasi ini dibidani oleh Felix Siauw dan menyebarkan paham Islam eksklusif ala HTI. Hal ini semata dilihat dari tokoh Nussa yang bergamis. Pakaian Nussa disebutnya “baju gurun pasir”.
Sinisme ini masih dilanjutkan dengan menyebut serial Upin & Ipin sebagai bahan komparasi. Upin & Ipin dinilai tidak memakai kostum agama tertentu, kecuali saat hari besar. Serial asli Malaysia ini juga memiliki tokoh yang lebih beragam.
Cuitan nyinyir ini lantas ramai disambut pro-kontra oleh netizen yang budiman. Banyak yang sependapat dengan Denny dan ikut menghujat Nussa. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang membela Nussa dan balik menyerang Denny.
***
Pertama-tama, saya akan membatasi komentar saya hanya terhadap film Nussa. Saya tidak akan melebarkan ranah komentar saya terhadap serial Nussa. Biarlah Nussa versi serial memiliki medan perdebatannya di tempat yang lain.
Menurut saya, film yang bagus tidak memiliki kewajiban mutlak untuk menderetkan gambaran kemajemukan seluruh masyarakat Indonesia secara harmonis, laiknya propaganda Orba. Jika menampilkan keragaman identitas secara kasat mata adalah syarat mutlak sebuah film bagus, hal tersebut akan sangat mengekang kreativitas insan perfilman.
Bahkan tampilnya representasi representasi majemuk masyarakat Indonesia tidak hanya memiliki dampak positif. Etalase keberagaman ala Orba justru telah membuat kita terjebak memandang keberagaman sebatas dalam kotak-kotak stereotip tertentu.
Misalnya kita memandang etnis Tionghoa selalu cadel dan beragama Buddha/Konghucu. Etnis Minang ditampilkan sebagai sosok yang pelit. Umat Hindu harus memakai udeng. Lalu umat muslim, meminjam statement Denny Siregar, mestinya sarungan.
Padahal ya tentu saja tidak saklek harus seperti itu. Umat Katolik Bali juga kerap memakai udang. Masyarakat Tionghoa banyak yang tidak cadel dan sebagian dari mereka memilih memeluk Islam. Begitu pula ada umat muslim yang suka bergamis dalam keseharian. Hal itu wajar saja terjadi meski tidak divisualisasikan dalam etalase keberagaman ala Orba.
Sebagai sebuah medium, kekuatan utama film justru ada pada kemampuannya menyajikan gagasan/realitas spesifik yang selama ini luput dari mata awam. Bisa berupa kritik sosial, kehidupan kaum marginal, memotret keseharian kalangan minoritas, atau mengangankan imaji masa depan. Khusus film anak, ia memiliki potensi tambahan untuk membuncahkan semangat, memancing nalar kritis, hingga membangkitkan imajinasi liar mereka.
Hal ini merupakan hal yang lebih esensial untuk menilai kualitas sinema. Film yang bagus akan berusaha sebaik mungkin untuk mengeksplorasi hal-hal seperti ini.
Upin & Ipin memilih menggambarkan representasi kalangan minoritas di Malaysia dengan cukup lengkap. Upin dan Ipin sendiri sebagai tokoh utama merupakan anak yatim piatu. Mereka berteman dengan Jarjit (yang beretnis India dan beragama Sikh), Mei-Mei (yang beretnis Cina dan beragama Konghucu), Ijat (anak dengan gangguan bicara), dan Susanti (anak perantau dari Indonesia). Mereka semua melengkapi keberagaman karakter dalam Upin & Ipin universe.
Namun demikian, bukan berarti Nussa wajib mencontoh apa yang dilakukan Upin & Ipin. Nussa memilih jalan ninjanya sendiri dengan menampilkan tokoh utama seorang difabel daksa yang memiliki minat besar terhadap rocket science. Ide cerita Nussa menyimpan pesan teramat kuat untuk memandang difabilitas sebagai hal yang normal di masyarakat. Ini sebuah langkah progresif dalam jagat sinema anak Indonesia dan layak diapresiasi.
Selanjutnya kita mesti menyepakati film yang bagus mestilah bermula dari sebuah ide cerita yang solid. Akan tetapi tidak cukup berhenti sampai disitu. Konsep ide tersebut mesti digali dan dikembangkan sehingga menjadi naskah yang matang. Sebelum pada akhirnya naskah tersebut harus dieksekusi dengan cermat.
Berdasarkan official trailer-nya, saya sepintas menilai proyek Nussa tidak digarap dengan sembarangan. Kualitas animasinya begitu memanjakan mata dan naskahnya tampak dijahit dengan rapi. Saya kagum dengan level animasi yang disuguhkan oleh trailer Nussa.
Setelah melihat trailer-nya, saya percaya Nussa bisa menyusul jejak Petualangan Sherina sebagai salah satu prasasti penting bagi dunia sinema anak Indonesia. Jika Petualangan Sherina kerap disebut-sebut sebagai penanda kebangkitan film anak Indonesia, saya berharap Nussa bisa menjadi penanda kebangkitan film animasi anak Indonesia.
Saya percaya hal ini dapat dicapai karena ada dua nama yang sudah lama malang melintang dalam industri hiburan Indonesia dan bagi saya reputasi mereka merupakan jaminan mutu untuk proyek film ini.
Nama pertama adalah produser kenamaan Angga Dwimas Sasongko yang ikut membidani lahirnya Nussa melalui keterlibatan rumah produksinya, Visinema Pictures. Selain itu ada pula nama Ryan Adriandhy. Talenta muda yang baru saja meraih Piala Citra untuk kategori Film Animasi Pendek terbaik. Animator berbakat ini turut andil sebagai co-producer dalam film Nussa.
Dua nama tersebut sekaligus membuat tuduhan adanya propaganda HTI di dalam Nussa tampak seperti tudingan kebablasan. Terasa konyol mempercayai Angga Dwimas Sasongko yang pernah menyutradarai Surat dari Praha, yang kental muatan kritik terhadap situasi politik Indonesia pasca 1965, kini membesut film untuk menyebarkan paham HTI.
Lebih konyol lagi membayangkan HTI mau bekerjasama dengan Rian Adriandhy. Animator yang memulai kariernya dari panggung stand-up comedy dan pernah membuat mockumentary Malam Minggu Miko.
Meskipun demikian, terlalu dini juga jika saya hendak menampik tudingan tersebut. Mengingat film ini belum tayang, jadi belum ada seorang pun yang dapat menilai apakah ada subliminal message tertentu yang disisipkan di dalam Nussa. Film ini baru bisa dinilai seutuhnya ketika nanti sudah tayang secara resmi.
Kita nantikan saja!
Jakarta.
14 Januari 2021.